Perkenalkan, nama saya Fahmi penulis travel blog catperku.com. Lulusan teknik elektro Universitas Brawijaya, tahunnya gak usah disebutin, karena nanti bakal ketahuan kalau lulusnya udah lama 😛
Pernah berkecimpung di dunia sofware engineer selama kurang lebih 5 tahun, namun kemudian menemukan hobinya menulis catatan perjalanan dan membuat konten traveling jauh lebih menyenangkan.
Selain itu, di jaman sekarang kerjaan konten kreator memang cukup cuan. Karena memang ada banyak cara cari duit dari blog dan menjadi konten kreator.
Jadinya, sekarang saya lebih sering bekerja membuat konten traveling daripada menjadi seorang software engineer. Meski yah, sesekali balik lagi jadi seorang geek, dan software engineer ketika dibutuhkan.
Misalnya ketika server travel blog dan website saya lagi ada yang isengin pake DDOS Attack kayak disini. Meski pekerjaan utama saya sekarang seorang full time travel blogger Indonesia, juga seorang konten kreator, saya tetap memiliki jiwa engineer. Gak bakal bisa ilang cuy! Tsaah!
Namun, sebenarnya bukan karena pekerjaan konten kreator saja yang menyenangkan yang membuat saya memilih fokus ke pekerjaan konten kreator. Tapi karena pekerjaan tersebut memungkinkan saya untuk kembali ke desa, dan bekerja dari desa.
Alasan Saya Kembali Tinggal Di Desa?
Pertama, saya ngerasa enggak cocok tinggal di Jakarta. Meski saya harus meninggalkan pekerjaan dengan gaji dua digit, dan segala gemerlap hedonisme dari Jakarta. Yah, meski kadang sesekali saya kangen dengan bau asap polusi Jakarta sih.
Selain itu, selama tinggal di Jakarta sekitar 3 tahunan, yang saya rasakan adalah…. Saya terlalu banyak buang waktu. Bayangkan, kalau lagi sial kena macet. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain di Jakarta yang normalnya kurang dari 30 menit, itu bisa membengkak sampe 1,5-2 jam!! Stress saya 😐
Dan hal itu nggak cuma terjadi satu dua kali saja. Tapi berkali kali! Saya merasa kesal karena waktu produktif saya banyak terbuang begitu saja di jalanan jakarta. Dalam waktu 1,5-2 jam, paling tidak saya sudah bisa menghasilkan 1 tulisan atau 1 vlog sederhana.
Yah, kalau masalah gaji 2 digit masih bisa diusahakan. Bekerja keras dari desa bisa juga dapet segitu. Apalagi kalau di desa, gaji dua digit, dengan pengeluaran cuma 1 digit itu bukan hal mustahil. Beda kalau di Jakarta dulu, gaji dua digit, kadang keluar juga dua digit juga. Boncos! Hehehehe!
Kedua, saya pengen belajar jadi petani dan peternak. Biarlah dilihat pekerjaan ini tidak keren, tidak seksi tidak semenarik pekerjaan kantoran atau PNS yang kerjanya di gedung bertingkat.
Yang penting, biar nyambi jadi petani atau peternak, saya tetap bisa jalan-jalan ke luar kota dan luar negeri. Seringnya sih jalan-jalan gratis ke luar negeri, tapi kadang juga sambil dibayar! Iya, dibayar, bukan mbayar! (Ps : Kalau tertarik ajakin saya jalan-jalan, cek aja link portofolio saya disini)
Selain itu, yang membuat saya yakin pengen tetap belajar jadi petani dan peternak adalah beberapa kejadian penting baik dari dalam Indonesia, atau dari luar negeri.
Kalau dari luar negeri, saya sering mengamati kejadian hiperinflasi venezuela yang kedengaran serem itu. Dari yang terjadi di venezuela, saya menyimpulkan satu hal. Ketika terjadi satu krisis di suatu negara, hal yang paling penting untuk diusahakan adalah air minum bersih, dan cadangan makanan yang cukup. Paling tidak, untuk keluarga.
Lalu, kalau dari dalam negeri sendiri, saya mengamati beberapa kejadian bencana alam yang ada di Indonesia. Yang saya amati ketika terjadi keadaan darurat seperti itu, uang tidak begitu berguna beberapa saat terjadi bencana. Namun makanan dan minuman adalah yang paling dicari semua orang.
Dari hal itu saya simpulkan kalau petani dan peternak adalah pekerjaan yang sangat penting. Karena, mereka bisa menghasilkan stok makanan sendiri. Tanpa harus repot mencari dengan uang. Jadi, kalau ada kesempatan bekerja menjadi petani atau peternak gak usah malu. Biarpun kamu seorang sarjana Teknik Elektro lulusan perguruan tinggi. Yang penting kerja halal.
Target saya sebagia petani sih sederhana. Bisa mandiri dengan punya lumbung padi yang berisi stok makanan cukup untuk bertahan hidup selama setahun. Lalu, sayur dari kebun pribadi, dan ternak yang bisa digunakan untuk sekedar melengkapi lauk pauk yang dimakan sehari hari. Kalau masalah air, kebetulan di desa saya air cukup melimpah karena ekosistemnya masih terjaga.
Tapi memang jauh lebih mudah ngomong daripada dikerjakan. Sampai sekarang, saya baru di tahap belajar jadi peternak ikan gurami sambil tetap nyambi bekerja sebagai konten kreator. Saya akui, belajar jadi petani dan peternak itu susah. 3 tahun tinggal di desa pun levelnya masih dibawah pemula.
Ya semoga saja, saya makin mahir jadi konten kreator sekaligus peternak dan petani. Soalnya, kalau nanti sudah pensiun dan gak ingin kemana-mana. Saya mau hidup santai saja di desa, sambil ngasih makan ikan sehari-harinya. Sesederhana itu.
Lalu Apa Suka Duka Tinggal Dan Bekerja Dari Desa
Apa yaaa?
Dukanya Tinggal Di Desa Dulu Deh!
1. Seberapa Gak Suka Sama Jakarta, Akhirnya Tetap Ketemu Juga Sama Jakarta! Gak Bisa Lepas Dari Jakarta Pokoknya!
Ya karena semuanya masih Jakarta-sentris, semua project dan pekerjaan datangnya dari Jakarta. Meski sekarang sudah banyak yang bisa dikerjakan jarak jauh lewat online, namun beberapa project mengharuskan saya untuk tetap pergi ke Jakarta. Jadi bisa dibilang meski tinggal di desa, dalam setahun saya bisa belasan kali pulang pergi ke Jakarta. Yah, untung saja ke Jakarta naik kereta api cuma perlu waktu semalam saja.
2. Ada Project Yang Gak Bisa Diambil
Derita jadi blogger daerah nih. Kalau ada project dadakan suka nggak bisa ambil. Ya masak dikasih tau H-1 kalau besok ada project di daerah X bagian Jakarta. Tentu saya nggak bakal bisa kalau dadakan gitu. Namun untung saja, sebagian besar projet datangnya nggak dadakan seperti itu. Dan biasanya project dadakan nilainya nggak terlalu gede. Jadi saya nggak ambil pusing. Kalau udah rejeki, pasti ngggak akan kemana.
3. Bandara Lumayan Jauh
Saya adalah orang yang berharap, Bandara Kediri cepat jadi. Kalau sudah jadi, nanti saya nggak perlu lagi harus pergi ke Bandara Juanda di Surabaya kalau mau terbang ke Jakarta. Jauh euy, ke Bandara Juanda dari rumah saya paling cepet 2,5 jam-3 jam perjalanan.
4. Mau Bikin Visa Ribet Karena Harus Ke Kota
Kalau mau bikin visa Jepang sih gampang, saya tinggal pergi ke Surabaya. Namun kalau buat visa di beberapa negara lain, tetap harus ke Jakarta. Jadi yah, ini yang juga bikin saya makin sering bolak balik Blitar – Jakarta.
5. Nonton Bioskop, Belanja Ke Kota Terdekat Perlu Waktu Tempuh 30 Menit – 1 Jam
Ya namanya tinggal di pelosok desa, tetap bisa pergi ke mall atau nonton bioskop saja sudah bahagia. Gak apa deh, harus berkendara 30 menit sampai 1 jam perjalanan dulu.
6. Transportasi Umum Susah!
Ini nih, yang paling gak enak kalau tinggal di desa. Transportasi umum itu susah, dan bisa dibilang hampir gak ada. Untuk pergi ke kota saja dalam sehari mungkin hanya ada 1-2 jadwal angkot. Karena itu, orang di desa itu rata-rata punya sepeda motor atau mobil. Saya pun juga sering mengandalkan dua kendaraan itu sekarang.
Kalau Sukanya Tinggal Di Desa??
1. Udara Segar Sepanjang Waktu
Bye bye polusi, hidup di desa setiap hari bisa menghirup udara segar gratis sepuasnya!
2. Biaya Hidup Jauh Lebih Murah
Kalau mau irit, IDR 20.000 sehari di desa itu udah bisa buat makan sekeluarga. Kalau mau hidup yang agak mewah dikit, ya 100 ribu rupiah sehari sudah lebih dari cukup.
3. Jarang Stress
Ini yang paling saya rasakan semenjak tidak tinggal di Jakarta. Stress level saya berkurang drastis. Kalau lagi gak mood tingal ke belakang kasih makan ikan atau main ke sawah. Atau kalau lagi bosan dirumah tinggal touring ke luar kota atau liburan ke luar negeri. Selaw~
4. Bebas Ngatur Waktu Kerja
Target tertinggi saya sejak kuliah adalah bisa bebas mengatur waktu kerja. Ya, meski saya workaholic yang seharinya kuat kerja belasan jam, tapi ada kalanya satu dua hari saya mau males-malesan. Dan alhamdulillah itu bisa saya lakukan sejak tinggal di desa.
Mungkin dalam seminggu saya akan bekerja tiap hari, lalu 2-3 hari saya hanya bersantai sambil nonton netflix atau yang lainnya. Jangan salah ya, internet di desa saya udah lumayan kenceng. Paling enggak lebih dari cukup buat nonton netflix. Hidup di desa, gak bingung lagi sama yang namanya hiburan.
5. Bisa Belajar Hidup Sederhana
Uang sebanyak apapun rasanya gak bakal cukup kalau enggak bisa hidup sederhana. Karena itu, dengan tinggal di desa, saya selalu belajar untuk hidup sederhana. Paling tidak, belajar merasa cukup dengan semua yang ada.
6. Gak Ada Macet!
Karena penduduknya gak sebanyak di kota besar, jadi yang namanya macet itu jarang terjadi. Kecuali kalau sedang ada event seperti karnaval atau semacamnya.
Uwow 20.000 mas? Murah banget. Dulu saya paling enggak 50.000 sehari. Udah termasuk jajannya anak-anak. Sekarang nambah anak, nambah juga jajannya. Haha…
Less stressful? Hmm…stres desa dengan stres kota beda sih kalau menurut saya.
Btw, saya juga cuma bertahan 3 tahun di ibukota dulu. Sekarang kembali ke desa, rumah dekat dengan persawahan seperti di masa kecil saya.
Di desa masih murah apa apa 😀 kalau masalah stress, emang selama 3 tahun terakhir, semenjak hidup di desa saya jauh lebih hepi. tapi ya stress tiap orang beda beda. paling enggak itu buat saya.
Selalu ada suka-duka.
Tapi kalo bisa milih, ku pun ingin tinggal di desa dengan pendapatan seperti di Jakarta. Hahahaha. Yes, nanti diusahakan supaya bisa.
Nyaman, tentram, damai, sederhana, kembali ke desa :p
semoga dimasa depan tinggal di mana saja gajinya sama 🙂
Menginspirasi bgt, aku jga kadang berpikiran seperti itu,
Hidup sederhana, mengurangi stres, perbanyak ibadah
Dan lebih mensyukuri apa yg di berikan yg di atas
Tidak mengandalkan gaji dan lembaran dari perusahaan, tapi mengandalkan rezeki yg Allah kasih ke kita.
Contoh gaji pokok 5,5jt tranport 800=6.3 jt
Kalo lembur bisa sampai 9jt
Tapi jujur kita jarang bersyukur
Karna jkt sekarang lebih besar pengeluaran nya, dan lebih besar stres dari pd mensyukuri nya.
Iyaa. Di desa itu enaknya nggak stress asal ada pemasukan. Biaya “maintenance” dan “entertainment” juga bisa dipangkas. Sebagai yang nggak terlalu suka nongkrong dan nonton sih, nggak ngaruh juga nggak ada bioskop hehe.
Sayangnya di tempatku tuh kurang bagus internetnya. Bahkan provider pemerintah juga belom bisa oke. kecuali pasang tower sendiri. Huft.
Kalo misal lagi stres, juga bisa tinggal ngelayap ke mana gitu sih, Dan biasanya tingkat stresnya kecil jadi cukup main ke sawah atau ke gunung udah bisa ngilangin. Bahkan kadang sepedaan aja udah cukup wkwk
pasang tower sendiri aja, biasanya ada tuh provider lokal yang jualan bandwidth pake WAN. lumayan kok. aku udah 3 tahunan pake internet provider seperti itu. sebulan bayar 300 ribuan dah lumayan kenceng buat kerja.
blog yang bagus, deskripsinya mantap. semoga saya juga bisa traveling sambil buat konten yang seru seperti anda.